
Denpasar – Surya Dewata
Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih menyampaikan keprihatinan serius terhadap pemasangan seng di area persawahan Jatiluwih yang dinilai berdampak besar terhadap kunjungan wisatawan.
Kondisi tersebut disebut memicu kekhawatiran wisatawan, khususnya pasar Eropa, hingga sejumlah agen perjalanan mulai menghentikan penjualan paket wisata ke Jatiluwih.
Hal itu disampaikan Manager Operasional DTW Jatiluwih, Jhon K Purna yang akrab disapa Jhon, saat ditemui usai pertemuan dengan berbagai pihak terkait.
Ia mengungkapkan, pemasangan seng di lahan sawah memunculkan persepsi negatif seolah terjadi konflik atau aksi demonstrasi, sehingga wisatawan merasa tidak aman untuk berkunjung.
“Saya juga bertemu dengan beberapa travel agent Eropa. Mereka menyampaikan sudah mulai tidak menjual Jatiluwih lagi. Tamu takut, dikira ada demo atau gejolak di bawah,” ujarnya.
Menurut Jhon, dampak tersebut sangat terasa pada angka kunjungan wisatawan. Pada kondisi low season, DTW Jatiluwih biasanya menerima sekitar 700 hingga 1.000 kunjungan per hari. Namun saat ini jumlah wisatawan yang datang hanya berkisar 120 hingga 150 orang per hari, atau turun lebih dari 80 persen.
Penurunan drastis ini tidak hanya berdampak pada pengelolaan DTW, tetapi juga dirasakan langsung oleh pelaku usaha di sekitar kawasan, termasuk restoran dan usaha milik masyarakat lokal. Jhon menyebut kondisi ini sangat mengkhawatirkan jika dibiarkan berlarut-larut.
“Sekarang saya punya restoran, sepi. Tetangga-tetangga juga sepi. Kalau semua sepi, ini sama dengan bunuh diri massal bagi masyarakat,” katanya.
Jhon menegaskan, pihaknya tidak ingin memperkeruh persoalan hukum yang melibatkan sejumlah individu terkait pemasangan seng tersebut. Namun ia berharap persoalan hukum tidak sampai mengorbankan kepentingan masyarakat luas yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata Jatiluwih.
“Saya tidak mau tanggapi soal masalah hukumnya. Yang saya inginkan seng itu tidak ada. Jangan sampai masalah 13 orang ini mengganggu keseluruhan masyarakat,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan harapan besar kepada Panitia Khusus Tata Ruang dan Pertanahan (Pansus TRAP), Pemerintah Kabupaten Tabanan, pemerintah desa, serta instansi terkait seperti Satpol PP, agar segera mengambil langkah konkret dengan mengurangi bahkan mencabut pemasangan seng di area persawahan.
Selain merusak citra kawasan warisan budaya dunia, keberadaan seng juga dinilai mengganggu secara visual. Pantulan cahaya seng saat sore hari disebut sangat menyilaukan mata dan merusak keindahan lanskap sawah Jatiluwih.
“Seng itu sangat mengganggu, terutama sore hari. Benar-benar menyilaukan. Mudah-mudahan pihak yang berwenang secepatnya mengambil tindakan,” harapnya.
Jhon mengaku pesimistis terhadap masa depan pariwisata Jatiluwih jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan. Ia menilai, tanpa tindakan cepat, Jatiluwih berpotensi kehilangan daya tarik dan kepercayaan wisatawan di tahun-tahun mendatang. (Brv)
Denpasar – Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali memanggil 13 pemilik akomodasi pariwisata di kawasan Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, yang diduga melanggar ketentuan tata ruang dan prinsip pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD).
Pemanggilan tersebut dilakukan dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Kantor DPRD Provinsi Bali, Jumat (19/12), sebagai tindak lanjut inspeksi mendadak (sidak) Tim Pansus TRAP pada 2 Desember 2025 lalu.
RDP dipimpin Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, didampingi Wakil Sekretaris Pansus Dr. Somvir serta anggota Pansus lainnya, yakni Nyoman Budiutama, Ketut Rochineng, I Wayan Wirya, dan Wayan Bawa. Hadir pula Wakil Bupati Tabanan I Made Dirga dan Sekretaris Daerah Kabupaten Tabanan I Gede Susila.
Sebanyak 13 usaha pariwisata yang dipanggil antara lain Warung Metig Sari, Warung Anataloka, Warung Krisna D’Uma Jatiluwih, Warung Nyoman Tengox, Agrowisata Anggur, Cata Vaca Jatiluwih, Warung Wayan, Green e-bikes Jatiluwih, Warung Manik Luwih, Gong Jatiluwih, Villa Yeh Baat, Warung Manalagi, serta The Rustic yang kini bernama Sunari Bali.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, menegaskan bahwa belasan usaha tersebut terbukti melanggar Perda Kabupaten Tabanan Nomor 3 Tahun 2023 tentang RTRW. Pelanggaran mencakup alih fungsi lahan sawah dilindungi (LSD), pembangunan di lanskap budaya UNESCO, serta gangguan terhadap integritas visual kawasan Jatiluwih.
Menurut Supartha, pelanggaran tersebut berpotensi mengancam status Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menurunkan nilai keaslian kawasan, merugikan petani, hingga berdampak pada pencabutan status WBD.
“Perlindungan Warisan Budaya Dunia bukan hanya kewajiban hukum, tetapi tanggung jawab moral kepada generasi mendatang dan dunia internasional,” tegas Supartha.
Meski demikian, ia menekankan Pansus TRAP tidak anti-investasi. Penertiban dilakukan untuk memastikan pembangunan berjalan sesuai aturan, selaras dengan pelestarian budaya, serta memberikan manfaat bagi masyarakat lokal.
“Kami tidak menolak investasi, tetapi investasi harus taat tata ruang. Jangan sampai perjuangan panjang sejak 2012 untuk mendapat pengakuan UNESCO rusak karena pembangunan yang tidak terkendali,” ujarnya.
Sebagai solusi, Pansus TRAP tengah mengkaji konsep penataan kawasan yang menyeimbangkan pelestarian sawah dengan kesejahteraan warga. Di antaranya melalui pengembangan homestay berbasis rumah penduduk, restoran kuliner lokal higienis, serta penguatan wisata berbasis aktivitas pertanian seperti membajak sawah, panen padi, hingga menangkap belut.
Pansus juga menyebut masih terdapat ruang terbatas untuk pembangunan sesuai aturan, seperti bangunan maksimal 3×6 meter yang dapat difungsikan sebagai kios produk lokal tanpa merusak lahan sawah.
“Kami ingin Jatiluwih tetap menjadi ikon dunia. Sawahnya lestari, budayanya hidup, dan rakyatnya sejahtera,” kata Supartha.
Sementara itu, salah satu pengusaha yang dipanggil, Pemilik Green Point Jatiluwih, Putu Cheriandika, mengaku terkejut atas kedatangan Tim Pansus TRAP. Ia menyebut sidak dilakukan hanya dua hari setelah usahanya mulai dibuka, saat operasional belum berjalan penuh dan masih dalam tahap pelatihan karyawan.
“Usaha kami masih sangat baru, bahkan masih training. Kami belum menerima surat peringatan satu, dua, maupun tiga,” ujarnya.
Menurut Putu Cheriandika, saat Pansus TRAP datang, usahanya belum beroperasi secara komersial. Kondisi tersebut membuat pihaknya merasa dirugikan karena belum mendapat ruang administratif sebelum dilakukan penindakan.
Ia menjelaskan, sejak awal Green Point didirikan untuk memberi dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar. Sekitar 80 hingga 90 persen tenaga kerja direkrut dari warga lokal, termasuk anak-anak petani yang sudah tidak lagi bekerja di sawah.
“Kami melatih mereka, termasuk kemampuan bahasa, sebagai bekal masa depan. Tapi usaha ini masih merugi karena baru mulai,” katanya.
Putu Cheriandika berharap kehadiran Pansus TRAP DPRD Bali tidak hanya berujung pada penertiban, tetapi juga membuka ruang dialog dan solusi yang adil. Ia meminta agar bangunan yang telah dibangun selama kurang lebih satu tahun dapat dicarikan jalan keluar sesuai mekanisme regulasi.
“Kami berharap ada solusi ke depan. Bangunan sudah berdiri, usaha baru dibuka dan masih merugi. Mudah-mudahan bisa dicarikan jalan sesuai aturan,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Pansus TRAP DPRD Bali menegaskan komitmennya untuk menegakkan aturan secara tegas namun tetap mengedepankan pendekatan solutif, dengan tujuan menjaga kelestarian Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia sekaligus memastikan kesejahteraan masyarakat dan pelaku usaha berjalan seimbang.
