Seorang ayah asal Australia, Paul La Fontaine kembali memperjuangkan haknya untuk bertemu dengan kedua putri kembarnya, ILF dan SLF (6 thn), di tengah momen Natal yang penuh kesedihan.
Tiga tahun berlalu sejak Paul terakhir kali bersama anak-anaknya, namun hingga kini, ia belum berhasil mendapatkan akses yang telah dijamin oleh keputusan hukum.
Paul dan mantan istrinya Adinda Viraya Paramitha (AVP), telah resmi bercerai pada Agustus 2022. Di bulan yang sama, Mahkamah Agung (MA) Indonesia menetapkan hak asuh bersama bagi keduanya.
Namun, AVP terus menolak keputusan tersebut dan memisahkan kedua putri kembarnya dari ayah kandung mereka. Paul menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran hukum dan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, yang menjamin hak anak untuk memiliki hubungan dengan kedua orang tua.
“Ini Natal ketiga tanpa kedua putri saya. Saya hanya ingin memeluk mereka, memberikan cinta saya sebagai seorang ayah, dan merayakan kebahagiaan bersama. Tapi semua itu direnggut dari saya,” kata Paul dengan sedih, Selasa (24/12/2024)
Usaha Paul untuk bertemu anak-anaknya tidak hanya terhalang oleh tembok tinggi rumah tempat mereka tinggal, tetapi juga oleh intimidasi fisik.
Pada 10 September 2024, Paul mengaku diserang oleh tiga orang pria ketika mencoba membawa hadiah ulang tahun bagi kedua putrinya.
Salah satu pelaku diduga anggota keamanan desa setempat. Bukti berupa foto, visum dan video serangan itu telah ia serahkan kepada Polda Bali, namun hingga kini, belum ada tindak lanjut yang signifikan.
“Setiap kali mencoba mendekati mereka, saya dihadapkan dengan ancaman dan kekerasan. Ini tidak hanya melanggar hak saya, tetapi juga hak anak-anak saya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah,” tegas Paul.
Dalam pernyataannya, Paul juga menanggapi tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diajukan oleh mantan istrinya selama proses perceraian. Tuduhan tersebut telah dibatalkan setelah penyelidikan selama dua tahun yang tidak menemukan bukti apa pun.
“Tidak ada klaim kekerasan selama 11 tahun hubungan kami. Tuduhan ini hanyalah taktik untuk mencemarkan nama baik saya dan menghalangi akses saya kepada anak-anak,” jelas Paul.
Paul juga menyoroti sindrom Parental Alienation atau sindrom orang tua yang dijelekkan, di mana satu orang tua sengaja merusak citra orang tua lain di hadapan anak-anak. Ia menyebut bahwa ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat kasusnya semakin rumit.
Paul telah mengajukan surat terbuka kepada Kapolda Bali dan lembaga terkait lainnya, memohon agar hukum dapat ditegakkan demi kepentingan terbaik bagi anak-anak.
Ia juga telah menawarkan penyelesaian rekonsiliasi dengan mantan istrinya, fokus pada pengasuhan bersama, dan membagi aset secara adil.
“Anak-anak tidak bersalah. Mereka adalah korban dari situasi ini. Kerugian emosional yang mereka alami tidak dapat diukur dengan materi. Saya hanya ingin melihat mereka bahagia dan memiliki hubungan yang sehat dengan kedua orang tua kandungnya,” ujar Paul.
Meski perjuangannya penuh rintangan, Paul tetap optimis bahwa ia akan bertemu putrinya tercinta di tahun baru.
Ia berharap pihak berwenang segera mengambil langkah nyata untuk memastikan haknya dan hak anak-anaknya terlindungi.
“Saya tidak akan berhenti berjuang. Mereka layak mendapatkan cinta dan perhatian dari kedua orang tua mereka,” tegas Paul