
Denpasar — Surya Dewata
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora, menyambut baik program program listrik desa yang digagas pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Program ini bertujuan untuk membuat tingkat elektrifikasi di Indonesia mencapai 100 persen dari yang kini di angka 99 persen.
“Listrik mendorong aktivitas ekonomi, bisnis lebih mudah dibangun, masyarakat lebih produktif, dan kegiatan sosial-ekonomi berjalan lebih lancar,” kata Nandya saat ditemui usai Diskusi Publik Kebijakan Energi di Denpasar, Kamis (6/11/2025).
Program yang menargetkan 5.400 desa di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), dinilai Nandya bukan hanya sekadar proyek penerangan, melainkan bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang.
Ia memaparkan listrik merupakan infrastruktur dasar yang memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa. Sehingga, program ini dinilai menjadi langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan energi nasional.
” Kalau listrik dan jalan sudah tersedia, pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut pasti meningkat,” kata Nandya.
Lebih lanjut, ia menilai target 5.400 desa yang akan dialiri listrik sangat relevan melihat keseriusan pemerintah dan komitmen anggaran yang digelontorkan. Meski begitu, ia juga menekankan pentingnya mendorong pemanfaatan energi terbarukan (EBT) sesuai potensi lokal, baik tenaga surya, air, maupun angin agar listrik yang dihasilkan lebih ramah lingkungan.
“Potensi setiap daerah berbeda-beda. Pemerintah perlu mendorong sumber energi yang sesuai dengan kondisi lokal,” jelasnya.
Sementara itu, founder BTI Energy dan dosen Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), I G.N. Erlangga Bayu, menilai elektrifikasi desa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketimpangan energi nasional. Ia mengapresiasi langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang meresmikan proyek mikro hidro di Minahasa, Sulawesi Utara sebagai bagian dari program elektrifikasi 100 persen.
“Kalau dibilang mungkin (elektrifikasi mencapai 100 persen), pasti mungkin. Indonesia ini kaya sumber daya matahari, air, angin yang belum maksimal dimanfaatkan. Negara-negara Eropa dengan sinar matahari terbatas saja bisa memanfaatkan tenaga surya. Kita justru punya matahari 12 jam setiap hari,” ujar Erlangga.
Meski begitu, Erlangga menyebut listrik di daerah tidak bisa sepenuhnya tergantung dari EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) karena sifatnya intermittent. Oleh karena itu, ia menilai tetap diperlukan peran PLN sebagai backbone aliran listrik di desa.
“Kalau dibilang EBT harus didorong, saya setuju. Kita memang perlu energi yang minim dampak negatif terhadap lingkungan. Tapi kalau semua harus full EBT, saya rasa agak berat. Kita tetap butuh backbone energi konvensional, seperti PLTU, meskipun porsinya kecil. PLTU atau diesel tetap diperlukan sebagai backup, misalnya ketika matahari tidak bersinar. Tapi porsinya bisa diperkecil, sementara EBT yang diperbanyak,” kata Erlangga.
Dari sisi komunikasi publik, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Dwijendra, Ni Made Adi Novayanti, turut mendukung program ini. Ia menilai keberhasilan program listrik desa juga bergantung pada transparansi dan komunikasi pemerintah kepada masyarakat.
“Program ini sangat baik karena langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa. Tapi penting bagi pemerintah dan pihak desa untuk terus menginformasikan bahwa kebijakan ini berjalan dan hasilnya nyata,” kata Novayanti.
Ia menilai, komunikasi publik yang konsisten akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap agenda transisi energi nasional. “Dengan listrik, roda ekonomi desa berputar. Tapi di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada sistem energi baru yang perlu dipahami. Pemerintah harus bisa menjelaskan kemudahan dan efisiensinya agar tidak muncul kebingungan di tingkat bawah,” ujarnya.
