SuryaDewata, Denpasar | Sepak terjang bir Bintang di tanah air dimulai sejak tahun 1931 di Surabaya. Bir beraroma malt dan hop ini beredar di pasaran dibawah PT Multi Bintang Indonesia, dimana merupakan anak perusahaan Heineken.
Setelah bir Bintang memonopoli Indonesia selama hampir satu dekade, kemudian pada tahun 1940an, setelah berganti – ganti kepemilikan, lahirlah Delta Djakarta yang kini lebih dari 26% sahamnya milik Pemprov DKI. Kita semua tahu jika bir andalan Delta yaitu Anker Beer.
Pada tahun 1975 hadir pula Bali Hai Brewery di Indonesia. Mereka memperkenalkan empat varian bir, yaitu Bali Hai Premium, Draft Beer, El Diablo Original, dan Panther Black.
Stark Beer sempat meramaikan persaingan efek mabuk kelas menengah pada tahun 2011. Stark muncul di tanah air melalui PT Lovina Beach Brewery, dibawah besutan dua bersaudara, Bona Budhisurya & Yudha Budhisurya. Produk mereka memang tidak bisa disejajarkan dengan bir putih seperti Bintang, Anker dan Bali Hai. Mereka memang sengaja bermain di kelas premium, jadi market yang terbebtuk sangat spesifik. Namun sial, produk mereka tidak lagi ditemukan belakangan ini.
Satu lagi, pada kuartal pertama 2019 Orang Tua Group, lewat anak perusahaannya PT Beverindo Indah Abadi, meluncurkan bir baru dengan label Singaraja. Seperti diketahui bahwa jika sebelumnya Beverindo juga sudah memproduksi Prost Beer sejak akhir 2015.
Perseteruan minuman beralkholol hingga 5% ini berlangsung selama beberapa dekade, dimana bir Bintang tampil dominan sebagai pemimpin pasar. Merk lain seolah sebagai pelengkap, termasuk merk luar. Namun, penguasaan merk luar kemungkinan terhambat oleh harga yang relatif tinggi. Jadi mereka punya pasar sendiri.
Respon pasar terhadap bir berlambang bintang ini seolah tak tergoyahkan, setidaknya sampai masa sebelum pandemi Covid-19. Ungkapan bahwa roda itu berputar benar adanya, kini bintang tidak lagi di atas. Begitulah pengakuan mayoritas ratusan pedagang kelontong yang kami sambangi di seputaran Denpasar.
“Selama pandemi ini kami lebih banyak menjual bir Singaraja daripada jenis lain,” ungkap salah satu pekerja toko kelontong yang tidak mau disebut namanya. Pernyataan beliau diikuti puluhan pekerja lainnya di toko berbeda.
Pekerja salah satu toko kelontong di daerah Dalung angkat bicara soal penyebab tingginya penjualan bir Singaraja, yaitu faktor harga. Kisaran harga bir memang berbeda dari satu toko dengan toko lainnya. Namun kisaran selisih harga antara bir Bintang dengan Singaraja mencapai Rp. 6,000 per botolnya. Ini berarti jika membeli empat botol Bintang hampir setara dengan lima botol Bir Singaraja. Jadi masuk akal jika peminum beralih ke produk baru ini.
Para pekerja toko kelontong ini berharap patiwisata Bali cepat pulih. Karena jika pariwisata pulih maka daya beli masyarakatpun akan kembali pulih.
Namun, mungkinkah pulihnya pariwisata Bali akan membuat masyarakat kembali ke bir Bintang, atau tetap setengah mabuk bersama bir Singaraja?[SWN]