
Denpasar – Surya Dewata
Panggung Amphitheater Living World Denpasar riuh oleh tepuk tangan. Acara yang diselenggarakan oleh
Forum Keluarga Spesial Indonesia Chapter Bali dengan Yayasan Pendidikan Musik Lima Nada sebagai Panitia pelaksana,
Dengan menampilkan anak-anak disabilitas yang dengan percaya diri memimpin lagu, menari dengan gemulai, dan sekelompok ibu-ibu yang biasanya hanya mengantar anaknya latihan, kini berdiri gagah menyanyikan sebuah paduan suara.

Ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah deklarasi. Sebuah panggung yang diberi nama “Berani Tampil”, yang pada 19 September 2025 menjadi bukti nyata bahwa potensi seniman disabilitas Indonesia menunggu untuk dilihat, didengar, dan yang paling penting: dilindungi.
Dibalik gemerlap lampu panggung, terdapat sosok seorang R Wahyu Panca Wati, S.Pd., M.Th., seorang praktisi musik inklusi dari sanggar musik Waktra dan Yayasan Pendidikan Musik Lima Nada yang menjadi motor penggerak acara ini, dengan semangat namun penuh keyakinan, membeberkan alasan mendasar mengapa panggung seperti ini sangat penting.

“Mereka tidak cukup hanya latihan, latihan, dan latihan. Mereka perlu satu panggung yang proper, panggung yang sebenarnya. Jangan sampai mereka hanya jadi ‘jago kandang’.
Mereka harus keluar, melihat dunia, dan dunia harus melihat mereka,” ujarnya, menyiratkan kekhawatiran akan nasib anak-anak didiknya jika hanya terkurung dalam ruang latihan tanpa punya kesempatan menunjukkan karya.
Namun, perjuangan Wahyu dan para seniman disabilitas melampaui sekadar mencari panggung. Masalahnya lebih mendasar, yakni adanya sebuah pengakuan.
Dalam talkshow yang diselipkan di antara pertunjukan, suara-suara kritis ini mengemuka.
“Karya-karya mereka, lagu-lagu mereka, koreografi tari mereka, perlu dilindungi oleh hukum. Mereka berhak mendapat sertifikat HKI. Kompetensi mereka juga perlu disertifikasi, agar mereka bisa bersaing setara dengan musisi non-disabilitas, di sinilah peran negara untuk hadir” tegas Wahyu.

Permintaan ini bukan tanpa alasan. Bagi musisi tunanetra, misalnya, keterbatasan akses untuk membaca notasi balok menjadi hambatan besar. Sertifikasi kompetensi akan menjadi pengakuan bahwa meski dengan keterbatasan, skill mereka patut dihargai.
Harapan itu ditangkap oleh Kementrian Hukum Kantor Wilayah Bali. Melalui program ‘Mobile Intellectual Property Clinic’ sebuah layanan Kekayaan Intelektual bergerak bagi kreator disabilitas. Mereka hadir untuk menjemput bola. Bersama BRIDA (Badan Riset dan Inovasi Daerah) Denpasar, Badung, dan Gianyar, didukung oleh HIPPI dan CLN, mereka memudahkan para kreator disabilitas mendaftarkan hak cipta, merek, desain industri, dan kekayaan intelektual lainnya. Secara simbolis, 14 Sertifikat KI diberikan kepada para kreator disabilitas, termasuk lagu “Berani Tampil” ciptaan Wahyu sendiri.
Namun, perjalanan masih panjang, Wahyu menyentil persoalan aksesibilitas di ruang publik yang masih sering diabaikan. “Kita pasti bisa lihat, susah sekali aksesnya. Kalau mau jalan-jalan, harus survei dulu, aman tidak untuk yang pakai kursi roda? Untuk anak hiperaktif yang lari-larian?” ujarnya, menggambarkan betapa dunia masih belum sepenuhnya ramah.
Ia pun menyampaikan harapannya yang terdalam, dibangunnya satu tempat yang aksesnya bagus, ramah buat semua, dengan panggung dan sound system yang mumpuni. Itu jadi rumah idaman kita semua “Jangan yang jadi contoh itu selalu dari Jakarta, Bandung, atau Jogja. Bali dong, yang jadi contoh..”
Acara “Berani Tampil” ditutup dengan sebuah momen pengharuan. Seorang anak menangis terisak melihat ibunya, yang selama ini hanya jadi pengantar, kini berdiri percaya diri bernyanyi di panggung. Air mata itu bukan air mata sedih, melainkan air mata kebanggaan yang membuncah.
Panggung ini mungkin telah usai, tetapi gaungnya baru dimulai. Mereka telah membuktikan bahwa mereka “berani tampil”. Kini, giliran kita, masyarakat dan pemerintah, untuk “berani mendengar”, “berani mengakui”, dan “berani memastikan” bahwa langkah mereka ke depan tidak lagi terhambat oleh tangga yang curam, sistem yang birokratis, atau hukum yang bisu. Masa depan inklusi tidak dibangun dari rasa kasihan, tetapi dari pengakuan yang tulus bahwa dalam setiap perbedaan, terdapat karya yang layak untuk dilindungi.
