
Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025 hadir membawa pesan penyejuk. Festival sastra terbesar di Asia Tenggara yang akan digelar pada 29 Oktober – 2 November ini mengusung tema “Aham Brahmasmi: I am the Universe”, sebuah ajakan untuk menyadari kesatuan antara manusia dengan alam semesta.
I Ketut Suardana, Ketua Yayasan Mudra Swari yang mendukung festival ini, membagikan refleksinya. “Di tengah tekanan hidup global, kita perlu memberi pandangan untuk bersama-sama bercahaya. Spirit ‘Aham Brahmasmi’ mengajak kita memahami bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk hidup berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Suardana, tema ini bukan sekadar filosofi. “Ini seperti proses dalam konsep Bali dimana kita berasal dari sumber yang sama dan akan kembali bersatu. Dalam konteks sekarang, ini menjadi landasan untuk membangun pariwisata Bali yang lebih bermakna,” jelasnya.
Semangat ini ternyata bersambut dengan para pegiat sastra dan budaya Bali. Ni Nyoman Ayu Suciarti, penulis asal Karangasem, akan meluncurkan buku “Tutur Tantri” yang lahir dari keresahannya. “Saya risau karena kisah-kisah Bali kini jarang terdengar di kalangan anak-anak. Saya ingin mewariskannya kembali melalui buku, dan UWRF menjadi medium yang tepat untuk memperkenalkannya pada generasi muda,” tuturnya.
Kekhawatiran serupa diungkapkan Jero Penyarikan Duuran Batur, dosen sastra Jawa Kuno dari Bangli. “Yang sangat memprihatinkan di Bali saat ini adalah bagaimana kita memahami kembali ritual-ritual kita. Ritual di Bali sangat beririsan dengan alam, tapi banyak yang sudah lupa hubungan antara hulu dan hilirnya,” ujarnya dengan nada haru.
Seniman Wayan Karja menambahkan, “Orang Bali mewarnai hari dengan ritual. Tapi bagaimana jika itu hanya rutinitas? Upaya saya adalah mengembalikan kesadaran di balik ritual, bahwa di dalamnya ada nilai dan upaya manusia terhubung dengan yang sakral.”
Festival yang memasuki tahun ke-22 ini tidak hanya menghadirkan diskusi. Ada pertunjukan tari dari Sanggar Kerta Art dan komunitas Lemah Tulis, serta untuk pertama kalinya menghadirkan Los Buku yang membawa buku-buku terbitan independen. Khusus pada Climate Day tanggal 2 November, publik bisa mengikuti berbagai panel tentang kearifan leluhur dan pelestarian alam secara gratis.
Janet DeNeefe, Pendiri UWRF, berharap melalui program ini masyarakat bisa bersama-sama merayakan upaya kolektif menjaga bumi. “Dengan menjadikannya gratis, kami ingin tunjukkan bahwa perlindungan iklim adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya segelintir orang,” ujarnya.
Dengan lebih dari 200 program yang menghadirkan 250 pembicara dari 20 negara, UWRF 2025 tidak hanya menjadi perhelatan sastra, tapi juga ruang refleksi bersama. Sebuah ajakan untuk menyelami kembali kearifan lokal, menyadari kesatuan dengan alam, dan menemukan semesta dalam diri masing-masing.
