
Denpasar – Surya Dewata
Seorang warga Desa Adat Pemogan, Denpasar berinisial WKS mengaku menjadi korban perundungan dan ancaman sanksi adat setelah menyampaikan kritik terhadap Jro Bendesa melalui media sosial.
Dalam unggahannya, WKS menyinggung istilah “KKN” yang dimaknainya “Kanggo Keneh Nira”, mengkritik keberadaan Jro Bendesa yang tinggal di luar wilayah Desa Adat Pemogan, bertentangan dengan awig-awig desa.
Akibat kritik tersebut, WKS dipanggil dalam dua kali rapat oleh pengurus dan anggota banjar. Namun, ia mengaku tidak diberi ruang untuk berbicara, justru mendapat perlakuan kasar dan penghinaan secara verbal. Bahkan, dalam salah satu rapat, seorang pengawas LPD mengalami kerauhan, meskipun bukan merupakan Jro Mangku.
“Saya merasa hak bicara saya sebagai warga telah dilanggar. Ini tidak adil,” tegas WKS.
Soroti Diskriminasi dalam Pemilihan Bendesa
WKS juga menyoroti dugaan diskriminasi dalam sistem pemilihan Bendesa Adat. Meskipun terdapat lima banjar adat di Pemogan, hanya tiga banjar yang disebut-sebut berhak mencalonkan Bendesa. Hal ini dinilai diskriminatif dan tidak mencerminkan prinsip keadilan bagi seluruh warga desa.
“Saya sudah buat surat permohonan maaf jika pernyataan saya dianggap menyinggung, tapi perundungan masih terus berlanjut,” ujarnya.
Terkait permintaan ritual permohonan maaf secara niskala melalui upacara Banten Guru Piduka, WKS tidak menolak. Namun ia menyarankan pelaksanaannya dilakukan setelah awig-awig desa diperjelas dan direvisi agar tidak menimbulkan multitafsir.
WKS juga menolak hadir dalam proses mediasi yang rencananya dilakukan di kantor LPD. Ia meminta agar mediasi dipindahkan ke kantor Lurah atau Prebekel yang dianggap lebih netral dan aman.
Desakan Evaluasi Sanksi Adat
Ancaman sanksi adat berupa kasepekang, yakni pengucilan atau pemutusan hubungan sosial dengan desa adat, dinilai berlebihan dan berpotensi mencederai hak asasi warga. WKS berharap pemerintah, Majelis Desa Adat (MDA), PHDI, serta DPRD Bali dapat mengevaluasi dan mengkaji ulang mekanisme sanksi adat agar tidak digunakan untuk membungkam kritik.
“Saya tidak menolak adat, tapi jangan sampai adat dijadikan alat pembungkam kebebasan berekspresi,” tandasnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana kritik terhadap pemimpin adat dapat ditoleransi tanpa membahayakan posisi sosial warga
Redaksi telah berupaya melakukan konfirmasi pihak Jro Bendesa dan pengurus Desa Adat Pemogan. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada tanggapan yang diterima. Redaksi Surya Dewata tetap terbuka dan akan memberikan ruang hak jawab kepada pihak-pihak terkait apabila ingin memberikan klarifikasi atau penjelasan //yut