Ironis! MDA Malah Abaikan ‘Sikut Satak’ dalam Perkara Tanah Desa Adat Tegalinggah

SuryaDewata, Gianyar | Eksekusi tanah desa adat seluas kurang lebih 10 are yang dilakukan masyarakat Desa Adat Tegallinggah, dibawah pimpinan Bendesa Desa Adat Tegallinggah, I Ketut Riman, dilaksanakan pada hari  Sabtu, 26/2/2022, bertentangan dengan nilai budaya leluhur.

Meski termohon, I Dewa Putu Raka Adnyana dan keluarganya, tidak melakukan perlawan secara fisik, namun terus akan mempertanyakan kepastian jawaban dari keputusan MDA Propinsi Bali, karena sebagai acuan dalam melakukan pematokan Jeroan I Dewa Putu Alit (almarhum) oleh Bendesa Adat Tegallinggah.

“Padahal saat proses mediasi di MDA Propinsi Bali tegas saya menolak dilakukannya ngepah karang sikut satak, karena merusak tata ruang kosala kosali di Bali. Bahkan tidak sesuai dengan misi visi Gubernur Bali yaitu Nangun Sat Kerthi loka Bali,” tegas termohon.

Proses eksekusi tidak pelak mengundang adanya kerumunan massa di tengah masa pandemi, yang mana Bali masih berada pada PPKM Level 3. Di sisi lain, situasi tampak tenang dan tidak terjadi gejolak karena menurut termohon, kepada awak media, bahwa tidak ada konflik apa – apa bersama kedua kakaknya (I Dewa Putu Tilem dan I Dewa Nyoman Samba). Tiga bersaudara ini sebelumnya rukun – rukun saja hingga pelaksanaan eksekusi yang dilangsungkan pada hari Sabtu tempo hari.

Usai pembacaan berita acara eksekusi, termohon menjelaskan kronologis dari permasalahan Putusan Eksekusi dari Bendesa Adat, yaitu sebagai berikut:  Pertama ada Laporan dari Kakak saya kepada Bendesa Adat tentang permohonan pembagian karang desa adat Tegallinggah, dengan dasar permohonan tersebut kemudian Bendesa Adat memanggil saya agar datang ke Bale Banjar. Saya datang ke rumah Bendesa Adat Tegallinggah melakukan pendekatan pribadi supaya permasalahan ini tidak dibahas di Banjar karena di tanah karang desa adat yang dimaksud tidak ada permasalahan, karena saya telah melakukan kewajiban sebagai anggota banjar. Ke dua, tidak ada permasalahan di tanah ayah banjar karena masing – masing saudara sudah diberikan hak untuk menempati  bangunan yang telah diberikan oleh leluhur secara turun temurun, yang ada didalam karang sikut satak sesuai dengan tatanan kosala kosali,” tuturnya.

Namun pihak Bendesa Adat terus membahas permasalahan ini di ranah Banjar sehingga diputuskanlah oleh Bendesa Adat Tegallinggah, dengan dua keputusan yaitu putusan Nomor: 85/DAT/2020 dan Nomor 86/DAT/2020.

“Polemik ini semakin meruncing menyusul munculnya keputusan Bendesa Adat  Nomor 85 dan 86. Yang pertama adalah karena ketidakhadiran saya,  maka dibuatlah keputusan agar saya membuat upacara meprastiste di pempatan agung dan pratista durmenggala. Apabila dalam satu bulan tujuh hari saya tidak melakukan hal itu maka swadharma saya ditiadakan,” sesalnya.

Selanjutnya keputusan ke dua akan dilakukan ngepah karang (bagi tanah, red). Sedangkan di dalam keputusan itu tidak ada disebutkan adanya butir – butir keputusan pematokan, penembokan dan penyekatan. Begitu juga bangunan yang diukur tidak ada pembongkaran.

“Kemudian saya melakukan pengaduan atau mediasi kepada MDA Kecamatan. Maka keluarlah himbauan supaya tidak melakukan eksekusi sebelum ada keputusan final (incrach) MDA Provinsi.

Terus saya ajukan ke MDA Kabupaten Gianyar dan disana juga putusan Bendesa Adat Desa Pekraman Tegallinggah ditolak karena tidak memenuhi rasa keadilan. Maka dari itu, inti sari dari Keputusan MDA Kabupaten adalah memelihara bersama – sama, menjaga bersama – sama baik Bale Daje, Bale Dangin, Bale Dauh dan menjaga lingkungan bersama – sama. Pengepahan karang yang dimaksud adalah menempati masing – masing genah pesayuban, bukan menyekat –  nyekat atau menembok karang itu sendiri.

Selanjutnya keputusan MDA Kabupaten ini ditolak oleh Bendesa Adat Tegallinggah. Lalu ia, Bendesa Adat membawa kasus ini ke MDA Provinsi yang dilanjutkan mediasi beberapa kali. Sehingga kemudian muncullah keputusan nomor 004/SK-Sabha Kerta/Bali/XII/2021, Tanggal 28/12/2021 tentang Wicara Karang Ayahan Desa Ring Jeroan Dewa Putu Alit (Almarhum) Desa Tegallinggah, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.

Adapun dasar dari keputusan MDA nomor 004/SK-Sabha Kerta/Bali/XII/2021 adalah Keputusan Krama Desa Adat Tegallinggah Nomor: 85/DAT/2020 dan Nomor 86/DAT/2020, dimana dalam Putusan pada poin Ketiga: menguatkan Keputusan Krama Desa Adat Tegallinggah nomor: 85/DAT/2020 Indik Wicara Karang Ayahan Desa, Ring Jeroan I Dewa Putu Alit (almarhum) Desa Adat Tegallinggah untuk sebagian dengan ketentuan bahwa:

  1. Mrajan dan Bale Dangin yang berada di atas pekarangan Jeroan  I Dewa Putu Alit (alm) yang ada sekarang dapat dimanfaatkan bersama sesuai dengan fungsi keagamaan dan adat oleh I Dewa Putu Tilem, I Dewa Nyoman Samba, dan Ir. Dewa Putu Raka Adnyana, M.Si.,
  2. Mewajibkan I Dewa Putu Tilem selaku pangraksa utawi pangempon (penanggung jawab utama) Merajan dan Bale Dangin yang berada di atas pekarangan Jeroan I Dewa Alit (almarhum) yang ada sekarang memberikan akses jalan dan kesempatan mapunia kepada I Dewa Nyoman Samba dan Ir. I Dewa Putu Raka Adnyana, M.Di., ketika memanfaatkan Mrajan dan Bale Dangin
  3. Dan, ke tiga, Menguatkan Keputusan Krama Desa Adat Tegallinggah nomor: 86/DAT/2020, Indik Wicara lan Paramidanda Kasisipan Krama Desa Adat Tegallinggah.

Pasalnya, I Dewa Putu Raka sudah mengajukan surat keberatan kepada Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, tertanggal 14/2/2022 tapi tidak mendapat jawaban hingga saat ini.

“Pada tanggal 23/2/2022 saya diberikan dedauhan (arahan) untuk pertemuan di Wantilan Pura Desa. Ternyata saat itu membicarakan masalah saya. Dalam paruman itu akan dilakukan dan dilaksanakan keputusan MDA Provinsi, yaitu tidak boleh diganggu gugat karena keputusan itu sudah mengikat. Tidak boleh ada lagi tanya jawab atau keberatan dari pihak saya. Tetapi ada salah satu warga yang mengatakan boleh ada tanya jawab karena mempunyai hak untuk berbicara,” jelasnya.

Lanjutnya, “Setelah saya baca surat keberatan yang saya tujukan ke MDA Provinsi, saya diminta untuk tidak berbicara oleh Bendesa Adat karena sudah keputusan final. Dia menyarankan kalau mau mediasi datang saja ke MDA Provinsi karena tanggal 26/2/2022 Warga Banjar Tegallinggah melakukan eksekusi, mematok tanah adat tempat saya kini bermukim,” terangnya.

“Sebelumnya, saya sudah mengajukan surat kepada Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali pada tanggal 14/2/2022. Yang pada intinya keberatan atas keputusan itu. Setelah itu, hingga tanggal 23/2/2022, saat paruman itu dan sampai sekarang surat saya belum dijawab. Sehingga hari ini (Jumat, 25/02/2022) saya datang ke MDA Provinsi Bali untuk menanyakan perihal surat saya tentang keberatan eksekusi, namun semuanya belum bisa memberikan jawaban,” tutupnya.

I Dewa Putu Raka Adnyana didampingi oleh kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Paiketan Krama Bali yang diwakili oleh I Wayan Gede Mardika, S.H., M.H., dan I Ketut Dody Arta Kariawan, S.H.,M.H.,  mengatakan, “Bahwa MDA Provinsi Bali telah melaksanakan keputusan yang kurang bijaksana. Dimana nantinya keputusan ini berpotensi memicu konflik berkepanjangan yang pada akhirnya bisa menimbulkan gejolak terganggunya hubungan kekerabatan dan memecah belah masyarakat setempat,” ujarnya.

“Majelis Desa Adat (MDA) adalah lembaga yang menaungi desa adat harusnya melindungi, melestarikan dan penguatan Adat dan Budaya Bali, dalam kasus ini adalah Sikut Satak yang merupakan arsitektur warisan leluhur yang sampai sekarang  menjadi salah satu kebanggaan Bali. Kalau Sikut Satak sampai di sekat-sekat dan ditembok maka ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat adat lainnya,” jelasnya.

Kemudian I Wayan Gede Mardika, S.H., M.H., menyampaikan bahwa dalam hukum positive, dikenal dengan Restorative Justice dimana diupayakan perdamaian untuk mengembalikan keharmonisan. Dalam penyelesaian hukum adat pun harus mengutamakan perdamaian sesuai dengan asas druwenang sareng-sareng tepatnya diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat  tepatnya pasal 37 ayat(2).

“Harapannya hubungan antar warga masyarakat berjalan harmonis serta lembaga – lembaga terkait seperti MDA, baik tingkat Kecamatan, Kabupaten hingga Pemprov menyadari hal ini. Dari munculnya kasus – kasus adat ini seharusnya dijadikan sebagai pembelajaran agar kedepan jangan terulang lagi kasus serupa . Kalau bukan MDA dan Desa Adat, siapa lagi yang bisa melestarikan adat istiadat Bali?” imbuhnya.

Terkait eksekusi yang dilaksanakan, ditambahkan I Ketut Dody Arta Kariawan, S.H.,M.H., melihat ada beberapa hal janggal yang ditemukan. Dan itu seolah – olah dipaksakan sesuai penafsiran Bendesa Adat untuk melaksanakan eksekusi.

“Pelaksanaan eksekusi ini dipaksakan sesuai penafsiran Bendesa. Seperti patok yang tidak disebutkan secara jelas oleh MDA, namun di lapangan terjadi pematokan. Terkait hal ini tentu kita terus mempelajari secara cermat kasus ini apakah ada unsur pidananya,” jelasnya.

Ia juga melihat kewenangan MDA Provinsi Bali yang bertindak selaku lembaga eksekutor dan bukan lembaga pengayoman yang bertindak selaku mediator dalam konflik adat/keluarga. “Sehingga kami akan melakukan langkah – langkah meminta pengayoman hukum kepada Gubernur Bali, Bupati Gianyar dan PHDI,” pungkas Dody.

Dalam eksekusi ini, hadir berbagai unsur antara lain Camat Blahbatuh – Gianyar, Wayan Gede Eka Putra, dan Wakapolsek AKP I Made Sunarta. Sedangkan dari MDA Kecamatan Blahbatuh, dan MDA Kabupaten Gianyar serta MDA Provinsi Bali tidak satupun datang menyaksikan jalannya eksekusi yang dilakukan Bendesa Adat Tegallinggah.[SWN]

Related Posts