Surya Dewata
Oleh Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Wakil Rektor I Universitas Dwijendra
Perbedaan pendapat dalam berkehidupan masyarakat merupakan hal yang biasa. Janganlah dengan adanya perselisihan paham, di antara yang berselisih saling menghujat. Hujatan atau yang lebih populer disebut ujaran kebencian diumbar di media sosial.
Netizen dengan bebasnya menghujat tokoh masyarakat yang berbeda pendapat dengannya. Bukan hanya itu, nitizen kerap melontarkan hujatan kepada pemerintah yang menurut mereka kebijakannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Hal ini merupakan bentuk ketidaksantunan netizen terhadap pemerintah. Pemerintah hendaknya dihormati karena pemerintah merupakan simbol negara. Begitu pula pemerintah daerah merupakan simbol daerah yang semestinya harus dihormati.
Akhir-akhir ini, orang nomor satu di Bali dihujat-hujat karena kebijakannya yang dianggap kontroversial. Masyarakat yang tidak setuju melontarkan ujaran kebencian.
Hujatan ini merupakan bentuk ketidaksantunan terhadap pemimpin (Guru Wisesa). Ajaran Hindu mengenal Catur Guru. Catur Guru merupakan empat guru yang harus dihormati oleh penganut agama Hindu Bali. Keempat guru tersebur yakni Guru Swadyaya (Tuhan), Guru Wisesa (Pemimpin/Pemerintah), Guru Pengajian (Guru di sekolah), dan Guru Rupaka (Orang tua).
Penganut Hindu Bali hendaknya memegang teguh ajaran itu. Berani kepada Catur Guru berarti orang tersebut tulah (kualat). Oleh karena itu, penganut Hindu Bali hendaknya menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) dalam berkehidupan bermasyarakat sehingga pikiran, perkataan, dan perbuatan tidak melanggar ajaran Tri Kaya Parisudha.
Saat ini, ada kecenderungan ajaran Tri Kaya Parisudha sudah terkikis. Indikasi ini dapat dicermati dari cara masyarakat berpikir, berkata, dan bertindak.
Program yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali banyak menuai pro dan kontra. Masyarakat belum apa-apa sudah berpikiran negatif terhadap program dan kebijakan Pemprov Bali.
Dari pikiran negatif akan menimbulkan perkataan yang cenderung menghujat, dan perkataan-perkataan yang menghujat menyebabkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan demokrasi.
Perbedaan visi boleh-boleh saja. Itu hak setiap masyarakat tetapi apakah perbedaan pendapat harus dilakukan dengan ujaran kebencian. Apalagi dilakukan dengan nemah (memaki-maki). Apakah tidak ada pilihan kata yang lebih santun untuk berpendapat?
Masyarakat Bali yang dikenal ramah dan mudah tersenyum. Keramahan dan kesantunan masyarakat Bali seolah-olah telah sirna.
Mungkin ini merupakan pertanda ajaran Hindu telah terkikis dan nilai-nilai budaya Bali mulai memudar.
Penyampaian ujaran kebencian begitu mudah dilakukan dengan adanya teknologi komunikasi yang canggih. Masyarakat dapat menggunakan media sosial seperti facebook, twitter, grup-grup whatsapp, instagram dan media lainnya untuk menyampaikan pendapatnya.
Masyarakat Bali tampaknya sudah terkotak-kotak menjadi dua. Yang satu sebagai pendukung Pemprov. Bali dan yang lain merupakan kelompok yang kontra. Yang pro bisa menghargai dan mengapresiasi program Pemprov. Bali sedangkan yang satu lagi selalu kontra dengan program Pemprov. Bali.
Ketika ada kebijakan hari arak, masyarakat yang kontra menghujat habis-habisan orang nomor satu di Bali. Penggunaan kata sapaan yang dipakai oleh netizen sangat tidak santun begitu pula perkataan yang digunakan tergolong “kasar.”
Penolakan orang nomor satu di Bali terhadap tim nasional Israel bertanding di Bali di ajang Piala Dunia U-20 2023 menuai hujatan. Pecinta bola wajar kecewa tetapi kekecewaan tidak dilakukan dengan menghujat dan berkata-kata yang tidak santun.
Bagaimanapun juga yang dihujat merupakan pucuk pemerintahan Pemprov. Bali. Perbedaan pendapat tidak harus dilakukan dengan hujatan. Perbedaan pendapat juga tidak harus dilakukan dengan memprovokasi.
Hargai perbedaan dan bagaimana memenage perbedaan itu agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.